Dari Klub Medioker ke Penantang Gelar Dunia
Selama sebagian besar abad ke-20, Manchester City bukanlah kekuatan besar sepak bola Inggris. Klub ini memang pernah meraih gelar liga pada 1937 dan 1968, tapi sering turun naik divisi dan hidup dalam bayang-bayang rival sekota, Manchester United. Setelah era kejayaan singkat akhir 1960-an, City terperosok ke masa kelam. Mereka beberapa kali terdegradasi dari Premier League, bahkan turun ke divisi ketiga pada 1998. Fans City dikenal setia meski klub mereka sering jadi bahan lelucon media.
Situasi finansial juga buruk. City sulit membayar gaji, stadion Maine Road tua dan tidak representatif, dan mereka kesulitan menarik pemain top. Kehidupan mereka bagai rollercoaster: promosi, degradasi, naik sebentar lalu jatuh lagi. Di saat Manchester United berjaya bersama Sir Alex Ferguson, City menjadi simbol kegagalan. Banyak pengamat yakin City tidak akan pernah bisa menantang elite Inggris. Namun semuanya berubah total pada 2008.
Investasi Abu Dhabi: Titik Balik Sejarah Klub
Pada 2008, Abu Dhabi United Group yang dipimpin Sheikh Mansour membeli Manchester City. Ini menjadi titik balik terbesar dalam sejarah klub. Uang miliaran pound mulai digelontorkan untuk merekrut pemain bintang dan membangun infrastruktur. Dalam beberapa tahun, City berubah dari tim papan tengah menjadi pesaing serius gelar Premier League.
Transfer pemain dilakukan agresif. Mereka membeli Robinho, Carlos Tevez, Sergio Agüero, David Silva, Yaya Touré, hingga Vincent Kompany. Pemain top ini memberi City kekuatan skuad yang sejajar dengan klub elite Inggris. Selain itu, City membangun Etihad Stadium modern dan City Football Academy yang menjadi salah satu pusat pelatihan terbaik dunia. Infrastruktur ini menjadi fondasi jangka panjang.
Namun uang bukan satu-satunya faktor. Sheikh Mansour membentuk manajemen profesional yang dikelola ala perusahaan global. Mereka merekrut Ferran Soriano dan Txiki Begiristain dari Barcelona untuk membangun filosofi klub berbasis penguasaan bola dan pembinaan akademi. Langkah ini membedakan City dari klub kaya lain yang hanya belanja pemain tanpa membangun sistem.
Era Pep Guardiola: Lahirnya Mesin Sepak Bola Modern
Titik klimaks kebangkitan City terjadi saat merekrut Pep Guardiola pada 2016. Mantan pelatih Barcelona dan Bayern ini datang membawa filosofi permainan posisional: penguasaan bola ekstrem, pressing tinggi, sirkulasi cepat, dan rotasi posisi. Guardiola tidak hanya memperbaiki skuad, tapi merevolusi cara main City dari dasar.
Guardiola memperkenalkan taktik ultra-detail, penggunaan data performa harian, analisis video lawan, hingga manajemen beban latihan berbasis sport science. Semua pemain dilatih memahami banyak posisi. Bek dilatih menjadi playmaker, kiper dilatih membangun serangan dari belakang. Hasilnya, City bermain dengan pola yang sangat rapi, cepat, dan kolektif.
Hanya dalam beberapa musim, City mendominasi Premier League. Mereka meraih 6 gelar Premier League dalam 7 musim, menyapu bersih Piala Liga dan Piala FA, serta akhirnya menjuarai Liga Champions 2023 untuk pertama kalinya. City juga mencatatkan banyak rekor seperti poin terbanyak semusim (100) dan selisih gol tertinggi. Gaya main mereka dipuji sebagai salah satu yang paling indah sepanjang sejarah Premier League.
Dampak Besar terhadap Premier League dan Sepak Bola Dunia
Kebangkitan Manchester City mengubah peta persaingan sepak bola Inggris. Mereka mematahkan dominasi historis Manchester United, Liverpool, Chelsea, dan Arsenal. Rival-rival mereka dipaksa menaikkan standar manajemen, rekrutmen, dan infrastruktur untuk bisa bersaing. Premier League menjadi lebih kompetitif karena City menetapkan standar baru profesionalisme.
Di level global, City menjadi brand sepak bola raksasa. Basis fans mereka melonjak di Asia, Timur Tengah, dan Amerika. Penjualan merchandise naik tajam, jumlah pengikut media sosial meledak, dan mereka menggelar tur pramusim global ke AS, Jepang, dan China. City berubah dari klub lokal menjadi perusahaan hiburan global bernilai miliaran dolar.
Mereka juga mendirikan jaringan City Football Group yang memiliki klub satelit di 13 negara, dari Melbourne City di Australia sampai New York City FC di AS. Jaringan ini digunakan untuk scouting, pembinaan pemain muda, dan ekspansi brand. City menjadi pelopor model multi-klub global yang mulai ditiru klub lain.
Kritik dan Kontroversi yang Mengiringi Kesuksesan
Di balik kesuksesan, City tidak lepas dari kontroversi. Banyak fans rival menuduh mereka “membeli kesuksesan” dengan uang tak terbatas. City beberapa kali diselidiki karena diduga melanggar aturan Financial Fair Play (FFP) UEFA. Mereka sempat dijatuhi larangan tampil di Liga Champions pada 2020, meski kemudian menang banding di CAS.
Premier League juga masih menyelidiki lebih dari 100 dugaan pelanggaran aturan keuangan oleh City. Kasus ini bisa berdampak besar pada reputasi klub jika terbukti bersalah. Banyak pengamat menilai City adalah simbol ketimpangan finansial dalam sepak bola modern, di mana klub milik negara kaya bisa mendominasi tanpa batas.
Namun pendukung City berargumen bahwa klub mereka membangun kesuksesan bukan hanya dari uang, tapi juga manajemen profesional, sport science, dan pembinaan akademi. City Football Academy menghasilkan pemain seperti Phil Foden yang menjadi ikon lokal. Mereka mengklaim City membawa profesionalisme dan inovasi baru yang mengangkat standar sepak bola Inggris secara keseluruhan.
Tantangan Besar di Masa Depan
Meski sedang berada di puncak, City menghadapi tantangan mempertahankan kejayaan. Kompetisi Premier League sangat ketat, dan rival seperti Liverpool, Arsenal, dan Chelsea terus memperkuat diri. City harus menjaga regenerasi skuad, karena banyak pemain kunci sudah memasuki usia 30-an. Mereka perlu mencetak bintang baru agar tidak bergantung pada satu generasi.
City juga harus menjaga keberlanjutan finansial. Era investasi tak terbatas bisa berakhir jika regulasi FFP diperketat. Klub harus membuktikan bisa menghasilkan pemasukan sendiri dari sponsor, penjualan tiket, dan merchandise agar tidak tergantung pada suntikan dana pemilik. Selain itu, mereka perlu membangun loyalitas fans lokal agar tidak hanya bergantung pada fans musiman global.
Tantangan lain adalah menjaga motivasi. Setelah memenangkan semua gelar, sulit menjaga lapar juara. Banyak tim besar runtuh karena kehilangan motivasi setelah era emas. Guardiola juga tidak akan bertahan selamanya, dan mencari penerus yang bisa mempertahankan standar luar biasa akan sangat sulit.
Kesimpulan dan Refleksi
Kesimpulan:
Kebangkitan Manchester City adalah kisah transformasi terbesar sepak bola modern. Mereka bangkit dari klub medioker menjadi raksasa global lewat investasi besar, manajemen profesional, sport science, dan filosofi permainan modern. City mengubah standar Premier League dan membawa pengaruh global besar.
Refleksi:
Jika bisa menjaga regenerasi, keberlanjutan finansial, dan kultur profesional meski era Guardiola berakhir, Manchester City bisa menjadi dinasti jangka panjang yang menandai babak baru sejarah sepak bola dunia.
📚 Referensi